TAIPEI, KOMPAS.com — Mayjen Lo Hsien Che (51) ditangkap karena terkait skandal spionase terburuk di Taiwan dalam 50 tahun terakhir. Media massa di Taiwan, Kamis (10/2/2011), memberitakan Mayjen Lo terjerat sebagai mata-mata untuk kepentingan China karena tergoda uang dan seks.
Godaan itu datang dari perempuan agen mata-mata China. Mayjen Lo direkrut saat ditugaskan di Thailand periode 2002-2005. Dia dijebak dengan uang dan seks dengan imbalan harus memberikan informasi penting soal Taiwan.
Media massa Taiwan menggambarkan perempuan itu sebagai cantik, langsing, tinggi, dan berpaspor Australia. Perempuan itu menyamar sebagai pekerja di bidang ekspor-impor saat bertemu pertama kali dengan Mayjen Lo, yang sudah beristri.
Mayjen Lo kemudian menyerahkan informasi soal Taiwan sejak 2004 dengan imbalan 200.000 dollar AS (sekitar Rp 1,8 miliar). Sejumlah media di Taiwan menyebutkan Mayjen Lo bahkan sudah mengantongi uang sekitar 1 juta dollar AS (sekitar Rp 9 miliar).
Pada tahun 2005 Mayjen Lo dirotasi kembali ke Taiwan, tetapi tetap bekerja sebagai pemberi informasi kepada China. Dia bahkan tetap menemui perempuan mata-mata itu di Amerika Serikat (AS). Di AS, Mayjen Lo juga menyerahkan informasi rahasia soal Taiwan.
Naik pangkat
Mayjen Lo berhasil mengelabui Pemerintah Taiwan atas kegiatannya itu dan terus berhasil meraup uang. Pada tahun 2008, Lo bahkan mendapatkan kenaikan pangkat menjadi mayjen. Saat direkrut, Lo belum memiliki pangkat itu.
Dia ditangkap bulan lalu saat menjabat sebagai Kepala Bagian Telekomunikasi dan Informasi Elektronik di Departemen Pertahanan Taiwan, yang enggan berkomentar soal kasus itu.
Para pejabat militer Taiwan mengingatkan posisi Mayjen Lo memungkinkan dia memberikan informasi penting tentang Taiwan kepada China.
Tabloid China, Global Times, mengutip Li Fei, seorang pakar soal Taiwan di Universitas Xiamen, China. ”Kegiatan mata-mata di antara kedua negara tak pernah surut, bahkan berlanjut saat ketegangan kedua negara mereda. Targetnya tidak hanya sektor militer, tetapi juga merambah ke urusan ekonomi dan teknologi,” kata Li Fei.
China selalu menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsinya. (AFP/MON)