Ini adalah kisah ketika saya masih sekolah dan diasramakan, sekolahku itu adalah pondok pesantren yg tertua di sulawesi selatan pada masaku dulu adalah sisa-sisa kejayaan dan saat ini entah bagaimana nasibnya karena temanku sendiri mengatakan yg lebih sering disana karena mengabdi mengatakan Layamutu Wa Lahyaya artinya cukup anak pesantrenlah yang mengerti dan yg mereka-mereka yg mengerti.
Saya bersekolah disana selama enam tahun pahit-manisnya kehidupan dialami banyak sesuatu yg belum didapatkan orang-orang diluar sana yg seumuran atau sebayaku yg masih tinggal bersama orang tuanya, karena kami disana sudah diajarkan mandiri dengan berbagai macam aturan sebagai bentuk kedisiplinan yang harus dijalani secara rutin yang aktivitasnya dimulai dari saat menjelang shubuh dan sampai malam penuh dengan kegiatan yg terjadwal baik yang sifatnya jadwal yang individu maupun kolektif dan bilamana saat senin kamis justru lebih ekstra lagi karena akan ada salat malam kemudian sahur untuk berpuasa esok harinya. Saya disana pada mulai masuk sekitar 250an santri-santriyah dan selama enam tahun perjalanan yang sampai pada akhirnya diacara penamatan sekitar 36 santri-santriyah kalau tidak salah.
Itulah sekelumit waktu saya masih mondok dulu, tapi disini yang saya akan tuliskan adalah hal kecil dari pengalaman saya bersama para sahabat waktu mondok dulu disana, tapi dari hal kecil itu aku baru menyadari justru saat ini karena dari hal kecil itu menghasilkan sesuatu yang besar karena sungguh penting dan baik untuk dicontoh dan dijadikan pelajaran.
Ceritanya begini suatu ketika Saya dan kedua sahabatku telat melaksanakan Salat Maghrib kami baru datang setelah salat jamaah telah usai dan itu menjadi malapetaka bagi kami karena kami terpantau oleh jazus (spy) dan memang benar setelah salat mahgrib terdengarlah dari corong masjid daftar nama-nama pelanggar untuk hari itu untuk semua departemen yg ada di IRM (semacam Osis dlm sekolah Umum) kebetulan yang kami khawatirkan itu ternyata benar karena kami telat salat magrib maka kami bertiga masuk dibahagian Departemen Ibadah.
Meluncurlah kami bertiga kesana karena kami juga kebetulan satu kelas dan satu asrama pula, sesampai di IRM telah banyak berkumpul pelanggar-pelanggar dr semua departemen dan dihadapi pengurus departemen masing-masing, khususnya pelanggar Ibadah kebetulan kami tdk sendiri ada juga teman lain dari kelas yg lain setelah mereka mendapatkan ganjaran dan hukuman yang diperbuatnya maka tibalah giliran kami bertiga.
Itulah segelintir kisahku, dan yang perlu diambil hikmahnya adalah kejujuran yang masuk diakal karena memang ada kejujuran yg tak masuk diakal meskipun memang kejadian memang begitu adanya tapi kalau tidak masuk diakal tetap juga terhukum.
Kemudian disaat ini ketika saya membandingkan kisah itu dengan problematika saat ini kejujuran itu sangat Mahal karena kadang sesuatu yang sudah jelas dimata kita dengan barang bukti visual dan saksi sudah ada tetap juga tidak berani mengatakan saya salah dan memang dimata publik memang itu adalah sesuatu yang salah tapi justru malah ditutupi dengan kebohongan.
Dan ini secuil Mahfudzat yang saya dapat dari Pondokku : Kulil Haqqu Walau Kana Murrang