Asri Salam ( Acchi )

Tuesday, 18 January 2011

SUATU MALAM DI SEBUAH PESTA Oleh: Miranda Risang Ayu

Suatu malam, di sebuah pesta, seorang perempuan muda dikagetkan oleh
pertemuannya dengan seorang sahabat yang telah lama tidak dijumpainya.
"Saya agak kesulitan untuk memulai perbincangan," kata sahabat lama perempuan
muda itu berterus terang. "Tetapi, bagaimana hidup? Apakah kau bahagia?"
Apakah ia bahagia? Malam itu adalah pesta, dan setiap orang bukan saja
berhak, tetapi wajib bahagia. Lagi pula, ia bertemu dengan sahabat lamanya,
dan disapa oleh sebuah pertanyaan impresif yang menggairahkan kesadarannya.
Jadi, bukankah ia tinggal menjawab dengan serangkaian cerita yang
membuktikan bahwa ia memang tengah bahagia?

Perempuan muda itu pun mulai menjawab bahwa ia banyak tertawa malam itu.
Mungkin karena pesta itu sendiri memang dirancang dengan ide yang amat
menarik dan dengan tujuan untuk menyenangkan semua yang hadir. Pesta itu
diadakan di tengah kebun yang dipenuhi palma dan kamboja, dengan
rumah-rumah kayu beratap rumbia, dan dilingkungi oleh persawahan khas Bali Tengah
yang bertatahkan cahaya obor di setiap sudutnya.

Ada tari-tarian tradisional yang anggun, joged Bumbung yang semarak, yang
dipadukan dengan peragaan busana kontemporer dan musik akustik. Lebih
penting lagi, ada bulan bercahaya menjelang purnama. Apa lagi?

Anehnya, perempuan muda itu merasa pipinya kelu oleh senyumnya sendiri.
Semakin tawa ria membahana di sekelilingnya, ia merasa semakin sunyi.
Dilepaskan pandangannya ke setiap meja yang dipenuhi makanan, dan ia baru
tersadar bahwa porsi makanan yang diambilnya bahkan lebih sedikit dari
porsi sarapannya setiap pagi.

Perempuan muda itu tidak mau menyerah. Ia lalu bercerita tentang
keberhasilannya dalam bekerja. Dalam hitungan tahun di satu jari tangan,
atas hasil prestasi kerjanya sendiri, ia telah menduduki posisi penting
yang membuatnya sering harus melakukan perjalanan dinas ke luar negeri. Atas
biaya kantornya, ia pun akan segera melanjutkan pendidikannya.

Anehnya, ada rasa jeri di hatinya ketika kini, agenda perkawanannya
ternyata hampir seluruhnya diletakkan dalam kerangka bisnis;
ia tidak pernah lagi bersahabat dengan seseorang yang tidak memiliki keahlian atau uang,
sekalipun orang itu jujur dan enak diajak berbincang. Sebaliknya, ia lebih
memilih untuk membina hubungan baik dengan seseorang yang sulit, atau
bahkan kalau perlu, musuhnya sendiri, untuk keperluan memperluas jaringan dan
menguatkan posisinya. Baginya, bersahabat bahkan sudah menjadi bagian dari
strategi, yakni untuk mengetahui kelemahan saingannya sendiri, dan kemudian
mengalahkannya dengan elegan.

Perempuan muda itu kemudian mencoba memulai cerita tentang kehidupan
pribadinya, namun urung. Tiba-tiba ia bingung mengais-ngais kehidupan
pribadinya sendiri. Maka, ia pun ganti bertanya, "Bagaimana dengan kau
sendiri?" "Aku?" dan sahabatnya itu tersenyum. "Aku sakit. Kanker. Mungkin,
hidupku tidak lagi lama."

Perempuan itu tertegun, "Astagfirullah. Tentu kau sangat menderita."

"Secara fisik, ya," tetapi sahabatnya itu kemudian tersenyum dengan amat
indah.

"Tetapi, aku bahagia. Aneh bukan? Setidaknya, aku kini tahu bahwa pesta,
uang, kedudukan, dan semua kesenangan itu tidak pernah mengajariku lebih
baik dari pada sakitku yang menyebalkan ini."

"Memang kau belajar apa?" sergah perempuan itu.

"Aku belajar bahwa hakikat hidup itu sesungguhnya sederhana, yakni untuk
belajar mati dengan baik; mati yang tidak dibebani oleh harta atau
penyesalan apa pun, selain kecemasan kecil untuk dapat merasakan senyum-Nya
yang abadi."